...Menjadi Serpihan Dengan Beribu Keutamaan...

30 Oktober 2011

Dimanakah Emas Itu ?

Perang Badar tiba, al-Abbas bin Abdul Mutthalib paman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bergabung bersama orang-orang musyrikin Quraisy untuk berperang melawan kaum muslimin. Pada waktu itu Abbas belum masuk Islam. Perang berakhir dengan kekalahan di pihak kaum musyrikin, dengan terbunuhnya tujuh puluh orang pemuka Quraisy dan tujuh puluh lainnya tertawan. Salah seorang yang tertawan adalah Abbas bin Abdul Muttahalib.

Sebelum Abbas berangkat perang, dia membawa emas dalam jumlah besar kepada istrinya Ummul Fadhl di malam hari. Dia berkata kepada istrinya, "Aku berangkat untuk mengikuti jalanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku telah menyiapkan untukmu dan anak-anakmu emas ini, ia cukup untukmu dan anak-anakmu seumur hidup." Kemudian Abbas membawa istrinya di kegelapan malam ke suatu tempat dan menggali lubang untuk menyimpan harta itu.

Abbas berangkat perang dan ia pun tertawan, digiring kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan menyeret tambang yang mengikatnya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Ambillah dari Abbas uang tebusan yang berlipat, empat puluh uqiyah emas. Suruh dia membayar tebusan dua orang keponakannya Aqil dan Naufal karena dialah yang mendorong keduanya untuk memerangi kita."

Maka kaum muslimin mengambil delapan puluh uqiyah emas. Abbas berkata, "Ya Muhammad, kamu telah membuatku menadahkan tanganku kepada manusia di sisa hidupku." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Lalu di mana emas yang kamu berikan kepada istrimu Ummu Fadhl ketika kamu meninggalkan Makkah? Di mana kamu berkata kepada istrimu, 'Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Jika terjadi sesuatu padaku maka harta ini untukmu dan anak-anakmu seumur hidupmu'. Lalu kamu menguburnya di tempat ini dan ini?"

Abbas terkejut, "Keponakan, siapa yang memberitahukan itu kepadamu?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Tuhanku Azza wa Jalla."

Abbas berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, engkau benar. Demi Allah tidak ada yang tahu kecuali aku dan istriku dan aku menguburnya di kegelapan malam." Kemudian Abbas mengumumkan keislamannya.

Tentangnya dan tawanan Badar lainnya, turun ayat "Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, 'Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampunimu.’ Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Anfal: 70).

Abbas berkata, "Sungguh Allah telah memberiku yang lebih baik seratus kali lipat daripada yang Dia ambil. Dia memberiku dua puluh hamba sahaya, masing-masing dari mereka mempunyai modal untuk berdagang dengan bagi hasil. Dia memberiku zam-zam, yang lebih berharga bagiku daripada seluruh harta di Makkah. Aku menunggu ampunan dari Tuhanku." Maksudnya ada firman-Nya, "Dan Dia mengampuni kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Peristiwa itu menjadi sebab Islamnya Abbas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan kepadanya suatu perkara yang hanya diketahui oleh Abbas dan istrinya Ummul Fadhl. Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan dari Ibnu Abbas berkata, "Di sore hari selesai perang Badar, pada waktu itu para tawanan dalam keadaan terikat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak bisa tidur di awal malam. Para sahabat bertanya, ‘Mengapa engkau tidak tidur ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Aku mendengar rintihan pamanku Abbas dalam rantainya.” Maka mereka membuka ikatannya. Abbas diam dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidur.

KAYA

Kenapa orang Islam harus kaya? Sebab kaya berarti memiliki banyak uang. Di zaman edan ini, dengan uang semua bisa dibeli, rumah mobil, perhiasan, kekuasaan, harga diri dan bahkan iman. Muslim yang kaya akan memberi banyak manfaat bagi dirinya dan umat.

Tidak sedikit yang mencibir, manakala melihat seorang muslim yang taat agamanya atau seorang kiai, yang masih mengejar bisnis. Seakan seorang kiai atau orang saleh hanya identik dengan salat dan zikir, bergaya hidup zuhud dan jauh dari kekayaan yang bersifat duniawi. Padahal orang saleh yang memiliki harta jauh akan membawa manfaat bagi umat. Seperti sabda nabi Muhammad saw “Sungguh terpuji harta yang suci itu bagi orang-orang saleh.”


Selain itu, beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya kefakiran (kemiskinan) itu bisa menjerumuskan kejurang kekafiran.” Maka tidaklah mengherankan bila kemudian banyak cerita seputar orang Islam yang murtad hanya demi satu kardus mie instan, roti dan biaya pendidikan. Keimanan mereka telah tergadaikan oleh kemiskinan. Na’uudzubillaah!
Untuk apa kekayaan bagi orang Islam? Tentu saja untuk beribadah kepada Allah, untuk berdakwah, membantu yang miskin, untuk umat. Seluruh harta kekayaan tersebut digunakan untuk menyembah Allah dengan lebih bersungguh-sungguh. Secara total. Sebab Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Bagaimana seseorang dapat salat dengan tenang sementara perutnya kelaparan? Bagaiman dapat berzikir dengan tenang di tengah tangis anak yang meminta susu dan makanan? Bagaimana mau bersedekah, zakat ataupun haji bila tidak memiliki uang? Bagaimana kita dapat menjaga harga diri sebagai muslim bila untuk membangun pesantren dan masjid harus meminta-minta di jalanan? Bagaimana kita menjaga kehormatan agama bila ayat-ayat Allah “dijual” dengan recehan di pemakaman dan bus kota?

Menjadi miskin adalah bahaya. Sebab miskin, ada suami yang rela menjual istrinya. Karena miskin ada ibu yang stres sehingga tega membakar anak-anaknya. Kemiskinan pula yang membuat seseorang terpaksa mencopet, mencuri dan mengemis. Kemiskinan pula yang membuat goyah iman seseorang sebab diiming-imingi hidup nyaman.

Kemuliaan di Tangan Saleh
Sebuah hadis yang diriwayatkan Al-Hakim dan dinilai sahih oleh Imam Ahmad dan Adh-Dhahabi mengisahkan. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW. memanggil ‘Amar bin Ash. Nabi bermaksud menyuruh ‘Amar memakai baju besi dan membawa senjata. “Aku mengutusmu pergi berekspedisi dimana kau akan mendapat banyak harta rampasan perang dan kau akan kembali dengan selamat, kuharap kau kembali membawa banyak harta.”
‘Amar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku memeluk Islam bukan untuk memperkaya diri! Melainkan karena semangat mulia Islam.”
“Oh ‘Amar, sungguh terpuji, harta yang suci itu bagi orang-orang yang saleh!” jawab Nabi.
Hadis lain yang diriwayatkan Ibnu Majjah, Rasulullah bersabda, “Tidak ada mudarat (kerusakan, bahaya) dalam harta bagi mereka yang takwa, tetapi kesehatan itu lebih baik daripada menjadi kaya bagi mereka yang bertakwa.”

Anjuran untuk berharta atau menjadi kaya, bukan berarti Rasulullah mengajarkan hidup materialistis. Rasulullah dan Khadijah adalah keluarga kaya, tetapi kekayaan tersebut digunakan untuk perjuangan Islam. Kekayaan dapat menjaga harga diri dan martabat. Dengan kekayaan maka dapat beribadah dengan tenang.
Kaya di tangan orang yang tidak beriman hanya akan menghasilkan kesengsaraan bagi sekitarnya. Orang yang tidak beriman akan bersikap bakhil. Mereka akan memanfaatkan harta untuk kesombongan diri. Merasa lebih hebat, lebih kuasa dan bisa membeli apa saja.

Semetara kaya di tangan orang saleh adalah kemaslahatan untuk semua. Mereka akan menggunakan kekayaan tersebut untuk sarana ibadah, ladang menabur amal. Harta tersebut menjadi amanah bagi mereka sehingga hanya digunakan untuk kebaikan semata.

Menjemput Rezeki, Menjadi Kaya
Ada petuah yang mengatakan, “Umur (kematian), jodoh dan rezeki adalah hak prerogratif Tuhan.” Petuah itu memang benar, umur tidak ada yang tahu sampai berapa lama hidupnya. Kapan datangnya ajal, adalah misteri yang tidak terpecahkan oleh kemampuan manusia. Bahkan untuk menunda sedetik pun tidak akan bisa. Sementara jodoh juga misteri ilahi. Meski sudah berikhtiar dengan segala cara bila belum berjodoh, tetap menjomblo juga.

Sementara rezeki, memang telah dicatat rezekinya oleh Allah di Lauhil mahfuuzh. Yakni sebuah kitab lembaran nyata milik Allah tentang segala peristiwa yang akan terjadi mulai dari penciptaan hingga hari kiamat. Maka sejak dalam kandungan telah tercatat rezeki seseorang. Dan Allah sendiri pun telah menjanjikan rezeki untuk setiap makhluk ciptaan-Nya, “Dan tidak ada satu binatang melata (makhluk Allah yang bernyawa) pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. Dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhil mahfuuzh). (OS. Huud [11]: 6)
Berarti rezeki kita masing-masing sudah disediakan oleh Allah. Tinggal menjemput rezeki tersebut. KH. Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa Aa Gym mengatakan bahwa rezeki itu dijemput, bukan dicari. Mengapa? Bila rezeki dicari, itu belum pasti adanya. Sementara menjemput rezeki, karena memang sudah pasti ada.
Sekarang tugas umat Islam adalah menjemput rezeki tersebut dengan segenap ikhtiar dan tawakal. Kalau mau berusaha dengan cara yang halal, niscaya Allah pasti memberi. Salah satu cara untuk menjadi kaya, seorang muslim seharusnya mempunyai pendidikan yang baik, sehingga mendapat pekerjaan yang baik pula sehingga mendapatkan penghasilan yang baik. Pendidikan dan pekerjaan serta penghasilan adalah tiga poin yang saling berhubungan. Jangan berharap kerja di tempat yang bagus bila pendidikan tidak menunjang, otomatis penghasilan pun demikian.
Salah satu materi yang cukup berkesan saat mengikuti salat idul Adha kemarin, adalah saat si penceramah mengatakan: “Bila mau dicermati, sesungguhnya hakikat kurban secara tidak langsung menyuruh orang Islam untuk kaya. Sebab bila ia kaya maka ia mampu berhaji dan berkurban.”
Seorang muslim yang berpenghasilan di bawah satu juta akan kesulitan menyisihkan uang untuk berkurban, sebab keluarganya saja hidup berkekurangan. Untuk berkurban membeli kambing ia harus mengeluarkan uang 600-700 ribu rupiah, sementara harga sapi dapat mencapai 5 juta rupiah, Dengan perintah kurban, zakat, haji, wakaf dan lain-lain berarti Allah mendorong manusia untuk menjadi orang kaya. Dengan kekayaan ia dapat bersaham secara keagamaan dalam menopang kesejahteraan orang lain.
Kaya dengan Harta yang Halal
Terkadang untuk memperoleh uang dan harta, orang menggunakan segala cara. Tidak merasa bersalah bahwa uang yang ia bawa pulang untuk makan istri dan anak-anaknya, adalah dari hasil korupsi. Kemudian dengan entengnya menganggap sedekah dan haji untuk menyucikannya.

Dalam skala kecil namun tidak mengurangi nilai nonhalalnya adalah apa yang dilakukan oleh para pedagang di pasar tradisional. Untuk mengejar harga murah mereka mengurangi timbangan. Untuk menarik pembeli, mulut mereka enteng berujar “Ini sudah harga murah, saya tidak mengambil untung sama sekali!” Lha, kalau tidak ada untung apa mereka sedang kerja bakti? Dan masih banyak kecurangan yang karena kecil dianggap sepele dengan sadar dilakukan.
Menjemput rezeki dengan cara haram, sesungguhnya hanya akan berbuah kemiskinan. Baik di dunia maupun akhirat. Orang-orang kaya yang hartanya tidak berkah, akan selalu merasa kekurangan. la tidak akan pernah puas dan tidak bisa hidup tenang.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Duhai umatku! Allah itu Maha Suci (al-Tayyib) dan Dia tidak menerima kecuali hanya yang suci! Allah telah menyuruh orang-orang yang beriman agar mengerjakan apa-apa yang diperintahkan-Nya kepada Rasul-Nya. Dia berfirman, ‘?Wahai para Rasul, makanlah dari makanan yang suci dan berbuat baiklah!” Dia juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari makanan yang halal lagi suci yang telah kami berikan kepadamu’.”
Mari kita audit kembali harta dan sumber penghasilan selama ini. Jangan-jangan ada yang berasal dari sumber yang tidak halal. Karena dari yang halal sajalah ridha Allah akan turun, doa bisa makbul dan rezeki akan semakin berlimpah.
Sumber : Majalah Paras No. 29 (februari 2006)

...............................

Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, “Kekayaan itu bukan dengan banyaknya harta akan tetapi kekayaan adalah kekayaan hati.” Benar, berapa banyak orang dengan harta menggunung dan uang menumpuk, tetapi saat hatinya masih bermental miskin, maka sejatinya dia miskin, dia masih saja iri kepada orang lain, berharap apa yang ada di tangan orang lain, mengangankan diberi oleh orang lain, bahkan berusaha mendapatkan harta dengan cara-cara tidak mulia dan melanggar agama, dasar hati miskin, mental kere, sebanyak apa pun duitnya, ia akan tetap seperti orang miskin, dan sebaliknya adalah sebaliknya.

Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian merasa aman di negerinya, sehat badannya dan dia memiliki makanan harinya maka seolah-olah seluruh dunia ada di tangannya.”

Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, “Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling di antara manusia, lalu dia diberi satu dan dua suapan, satu dan dua biji kurma, akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki kadar kecukupan yang mencukupinya, tidak diketahui sehingga diberi sedekah dan tidak berdiri untuk meminta-minta.”

Bakr bin Udzainah berkata,
Berapa banyak orang miskin tetapi berhati kaya yang kita kenal
Berapa banyak orang kaya namun berjiwa miskin dan dia miskin.

Aus bin Haritsah berkata, “Sebaik-baik kekayaan adalah qana’ah dan sebuhruk-buruk kemiskinan adalah kerendahan.” Fudhail bin Iyadh berkata, “Kekayaan dan kemiskinan hanya telah setelah menghadap kepada Allah.”

Ada yang berkata, “Syukur adalah perhiasaan kekayaan dan menahan diri adalah perhiasan kemiskinan.” Artinya bila Anda kaya maka kekayaan Anda menjadi indah bila Anda mensyukurinya, artinya kekayaan Anda menjadi buruk bila Anda mengkufurinya. Bila Anda miskin maka kemiskinan Anda menjadi indah bila Anda menahan diri dengan memiliki hati yang kaya dan qana’ah, artinya kemiskinan Anda menjadi buruk bila Anda selalu mengulurkan tangan meminta-minta.

Mereka berkata, “Hak Allah wajib pada kekayaan dan kemiskinan. Pada kekayaan adalah kasih sayang dan syukur dan pada kemiskinan adalah menahan diri dan sabar.” Ada yang berkata, “Memikul kekayaan dengan buruk menghadirkan murka dan memikul kemiskinan dengan buruk menjatuhkan kemuliaan.” Ada yang berkata, “Kekayaan ada dalam jiwa, kedudukan ada pada tawadhu’ dan kemuliaan ada pada takwa.”

Abdullah bin al-Ahtam berkata, “Barangsiapa lahir dalam kemiskinan maka akan menjadi sombong dengan kekayaan.” Mereka berkata, “Segala sesuatu yang menjadi pujian pada kekayaan adalah celaan pada kemiskinan.”

Mahmud al-Warraq berkata,

Wahai pencela kemiskinan, berhentilah mencela
Aib kekayaan lebih banyak bila kamu merenung
Di antara keunggulan dan keutamaan kemiskinan
Atas kekayaan bila perenunganmu benar adalah
Bahwa kamu durhaka kepada Allah dan berharap kaya
Dan tidak durhaka kepada Allah agar kamu miskin.

Mengapa kita melihat para ulama yang mencari harta lebih banyak daripada orang-orang kaya yang mencari ilmu? Karena para ulama mengetahui manfaat harta sedangkan orang-orang kaya tidak tahu manfaat ilmu.

Ar-Rayasyi berkata,

Kesusahan seseorang bukan dengan kemiskinan yang menderanya
Kebahagiaannya bukan pula dengan melimpahnya harta kekayaan
Sesungguhnya orang sengsara adalah orang yang tempatnya di neraka
Sedangkan kemenangan adalah kemenangan orang yang selamat dari neraka.

Dari Bahjatul Majalis, Hafizhul Maghrib Ibnu Abdul Bar.

Diam

Bila akal seseorang itu sempurna maka sedikit perkataannya, keunggulan akal atas perkataan adalah kebijaksanaan sedangkan keunggulan perkataan atas akal adalah kerancuan.

Amru bin al-Ash berkata, “Terpelesetnya kaki adalah tulang retak yang sembuh kembali, sedangkan terpelesetnya lidah tidak membiarkan dan menyisakan.”


لِسانُ الفَتىَ حَتْفُهُ حِينَ يَجْهَلُ كُلُّ امْرِئٍ مَا بَيْنَ فَكَّيْهِ مَقْتَلُ
وَكَمْ فَاتِحٍ أَبْوَابَ شَرٍّ لِنَفْسِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ قُفْلٌ عَلىَ فِيْهِ مُقْفَلُ
إِذاَ مَا لِسَانُ المَرْءِ أَكْثَرَ هَذَرَهُ فَذَاكَ لِسَانٌ بِالبَلاءِ مُوَكَّلُ
إذَا شِئْتَ أَنْ تَحْيَا سَعِيدًا مُسَلَّمًا فَدَبٍّرْ وَمّيٍّزْ مَا تَقُولُ وَتَفْعَلُ


Lidah orang adalah kematiannya saat dia berkata bodoh
Setiap orang bisa terbunuh karena apa yang ada di antara dua bibirnya
Berapa banyak orang membuka pintu keburukan bagi dirinya
Bila dia tidak meletakkan gembok kokoh di mulutnya
Bila lidah seseorang mengumbar perkataannya maka
Itulah lidah yang sangat beresiko ditimpa kesulitan
Bila kamu ingin hidup berbahagia dan selamat
Maka atur dan bedakanlah apa yang kamu ucapkan dan lakukan.

Manakala Yunus keluar dari perut hiu, dia banyak diam, dia ditanya, “Mengapa engkau tidak berbicara?” Dia menjawab, “Berbicara membuatku masuk ke perut hiu.”

Seseorang berkata kepada Bakr bin Abdullah al-Muzani, “Engkau lebih banyak diam.” Dia menjawab, “Lidahku adalah harimauku, bila aku melepaskannya maka ia memangsaku.”

Abu Bakar ash-Shiddiq suatu hari memegang lidahnya dan berkata, “Sesungguhnya ini telah menjemusukanku ke dalam masalah-masalah.”


فاَلعِيُّ لَيْسَ بِقَاتِلٍ وَلَرُبَّمَا فَتَلَ اللِّسَانُ


Ketidakmampuan berbicara tidak membunuh
Dan terkadang lidahlah yang membunuh.

Dari Bahjatul Majalis, Hafizhul Maghrib Abu Umar Ibnu Abdul Barr.

Bekal Sang Makelar

Alhamdulillah, salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Saudaraku, mungkin Anda merasa segan untuk terjun ke dunia bisnis. Banyak alasan yang mendasari keseganan Anda ini, di antaranya ialah karena faktor modal.

Saudaraku, besarkan harapan dan tidak perlu berkecil hati! Betapa banyak pengusaha sukses yang merintis kesuksesannya dari titik nol. Bila Anda bertanya kepada mereka, "Apa modal awal bisnis Anda?" Mereka hanya bisa menggelengkan kepala, sebagai ungkapan bahwa pada awalnya mereka tidak memiliki modal sepeser pun. Lalu, apa yang menjadikan mereka berani terjun ke dunia bisnis?
Ketauhilah, Saudaraku. Seringkali, yang menjadikan mereka bernyali besar sehingga menekuni dunia bisnis hanyalah kepercayaan diri. Mereka percaya bahwa mereka memiliki kemampuan dan merasa yakin bisa mendapatkan kepercayaan. Bila demikian adanya, maka apa yang menjadikan Anda segan untuk turut menekuni dunia bisnis? Bukankah Anda meyakini bahwa bisnis--alias perniagaan--adalah salah satu ladang rezeki yang terbaik? "Dari sahabat Rafi' bin Khadij, ia menuturkan, 'Dikatakan (kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), 'Wahai Rasulullah, penghasilan apa yang paling baik?' Beliau menjawab, 'Hasil karya seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang baik.''" (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim; oleh Syeikh Al-Albani dinyatakan sebagai hadis sahih)

Saudaraku, banyak celah usaha terbuka lebar di depan Anda! Salah satunya ialah menjadi perantara--alias moderator--atau lebih akrab disebut "makelar".
Saudaraku, bila Anda telah menemukan celah ini dan Anda merasa cocok untuk memasukinya, maka alangkah baiknya bila terlebih dahulu mengetahui cara syariat agama memberi bantuan bagi Anda.

1. Jujur

Kejujuran adalah kepribadian yang seyogianya mendasari setiap aktivitas seorang muslim. Sahabat Sa'ad bin Abi Waqqas berkata, "Seorang muslim itu bisa saja memiliki tabiat pengkhianat dan pendusta." (HR. Al-Baihaqi)
Dalam dunia percaloan, betapa sering kita mendapatkan saudara-saudara kita melanggar prinsip ini. Ada yang mengaku sebagai pemilik barang, sehingga ia bernegosiasi dengan calon pembeli. Padahal, pemilik barang sesungguhnya tidak pernah memberi wewenang untuk mengadakan negosiasi atau akad penjualan. Ia hanya mendapatkan kepercayaan mencarikan calon pembeli atau calon penjual.
Di antara sikap mediator, yang nyata merusak kepribadiannya sebagai muslim, ialah menyalahi ketentuan harga jual yang diamanahkan kepadanya. Menaikkan harga jual tanpa persetujuan dari pemilik barang demi mengambil selisih harga jual lebih tinggi dari yang dijanjikan pemilik barang. Bisa saja, barang yang diamanahkan kepadanya itu tidak laku jual atau paling kurang tepat menemukan pembeli.

Pada suatu hari, sahabat Hakim bin Hizam--seorang pengusaha--bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang permasalahan yang sering dihadapinya, "Wahai Rasulullah, sebagian orang mendatangiku ingin membeli sesuatu yang tidak/belum aku miliki. Ia menginginkan agar aku terlebih dahulu membeli barang yang ia inginkan dari pasar, lalu aku menjualnya kembali kepadanya." Rasulullah menjawab, "Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki."(HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah)

2. Perjelas hak Anda

Saudaraku, syariat Islam mengajarkan agar kita senantiasa menghormati kepemilikan hak-hak saudara kita. Oleh karena itu, penuhi prinsip perniagaan, mulai dari kejelasan status, hak, hingga kewajiban. Memperjelas hak dan kewajiban, sejak awal akad, menjadikan Anda tenang dan menjauhkan diri dari persengketaan. Ketahuilah, setiap akad atau transaksi, yang berpeluang menyulut persengketaan antara sesama muslim, biasanya diharamkan dalam Islam. Karenanya, sekali lagi, perjelaslah hak dan kewajiban Anda sebelum melangkah lebih jauh.
Inilah yang mendasari sahabat Umar bin Al-Khatthab untuk menyatakan, "Penentu hak adalah persyaratan." (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi; oleh Al-Albani dinyatakan sebagai riwayat yang sahih)

Ketahuilah, Saudaraku! Hak Anda sebagai mediator hanyalah fee atau upah yang telah disepakati dengan pemberi amanah. Adapun selebihnya adalah hak pemilik amanah, bukan milik Anda. Karenanya, Anda berkewajiban untuk menghormati dan tidak sepantasnya melanggar hak saudara Anda tanpa izin dan keridhaan darinya.
"Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya." (HR. Ahmad, Ad-Daraquthni, dan Al-Baihaqi; oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Albani dinyatakan sebagai hadis sahih)
Pendek kata, sebesar apa pun hak yang telah dijanjikan oleh pemilik amanah dan telah Anda setujui, maka hanya itulah hak yang layak Anda tuntut dan wajib ia berikan. "Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka." (HR. Abu Daud, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi; oleh Al-Albani dinyatakan sebagai hadis sahih)

3. Hindarilah khianat terselubung

Di dunia ini, banyak orang bermuka dua; berkesan menolong atau belas kasihan, namun sesungguhnya menyimpan kebengisan. Karenanya, dalam dunia percaloan, Anda seringkali menemukan mediator yang terkesan berpihak kepada Anda, tapi tanpa Anda sadari--sebenarnya--ia sedang bersekongkol dengan penjual untuk mengeruk harta Anda.

Misalnya, bila Si A memiliki toko bahan bangunan, yang biasanya menjual genting seharga Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per genting, tetapi karena Konsumen B datang ke toko tersebut dengan dibawa oleh Si C yang berprofesi sebagai tukang bangunan maka Si A menjual gentingnya kepada Si B seharga Rp 1.050,00 (seribu lima puluh rupiah) per genting, dengan perhitungan: Rp 1.000,00 adalah harga genting sebenarnya, dan Rp 50,00 adalah fee untuk C yang telah berjasa membawa konsumen ke toko Si A.

Saudaraku, bila Anda telah menemukan celah ini dan Anda merasa cocok untuk memasukinya, maka alangkah baiknya bila terlebih dahulu Anda mengetahui tuntunan syariat agama bagi Anda.

Sudah barang tentu, ketika A menaikkan harga penjualan dari Rp 1.000,00 menjadi Rp 1.050,00 dengan perhitungan seperti di atas, tanpa sepengetahuan B. Pada kasus seperti ini B dirugikan, karena ia dibebani Rp 50,00 sebagai fee untuk C, tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Padahal biasanya, si C telah mendapatkan fee dari si B yang setimpal atas jasanya memilihkan toko dan barang yang dibeli.
Sikap seperti ini tentu bertentangan dengan firman Allah ta'ala,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka-sama-suka di antara kamu." (QS. An-Nisa:29)

Juga bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak boleh melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain, juga tidak dibenarkan membalas dengan yang melebihi perbuatan. Barang siapa yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, niscaya Allah timpakan kerugian kepadanya. Barang siapa yang melakukan perbuatan yang menyusahkan orang lain, niscaya Allah menimpakan kesusahan kepadanya." (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Bila pemilik toko memberi fee kepada Si C tanpa menaikkan harga jual maka itu tidak salah. Atau, sebelumnya pemilik toko memberitahukan kepada pembeli bahwa harga genting ditambah fee yang akan deberikan kepada mediator, dan ternyata pembeli mengizinkan, maka ini dibenarkan. [Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri.]

Sumber: www.pengusahamuslim.com