...Menjadi Serpihan Dengan Beribu Keutamaan...

06 Juni 2011

Pelajaran Berharga


Sesuatu yang sangat indahDengan menikah surga dunia akan menjadi nyata. Segalanya begitu mempesona. Siang yang penuh canda tawa dan malam yang indah dalam peraduan cinta. Bisa tilawah bersama. Melakukan pengayaan materi tarbiyah berdua. Jika lelah ada yang memijat. Jika lemah ada yang memberi semangat. Tanggal muda belanja berdua. Tanggal tua tetap mesra. Berangkat kerja dicium tangannya. Pulang kerja disambut gembira. Dunia hanya milik berdua.

Kadang-kadang perasaan seperti itulah yang dimiliki oleh kita yang ingin menikah. Imajinasi yang sempurna. Bahwa pernikahan takkan kurang dari 13 kalimat di atas. Benar-benar mempesona tanpa cela. Benar-benar indah tanpa masalah.

Sebenarnya, boleh-boleh saja membayangkan yang demikian. Agar motivasi berkeluarga itu terjaga. Agar menikah tidak terlambat.

Namun, saat yang dibayangkan hanya keindahan, itu akan menjadi harapan yang mengeras dan harus jadi kenyataan. Efek negatifnya, ketika pernikahan yang dilaluinya tidak seindah yang dibayangkan, jiwanya bisa tidak siap menghadapi sehingga lebih sakit terasa atau segera kecewa. Saat ada problematika dalam kehidupan rumah tangga yang sama sekali berbeda dengan bayangan sebelumnya bisa menjadi masalah besar. Meskipun sebenarnya problem itu wajar dalam interaksi suami istri pada umumnya.

Maka ada baiknya jika kita memiliki bayangan-bayangan indah tentang pernikahan, kita juga memahami bahwa ada persoalan-persoalan yang bisa saja terjadi dalam kehidupan berkeluarga.

Pertama, hari-hari pertama pernikahan yang umumnya dipakai bulan madu oleh masyarakat kita, memang adalah momen-momen terindah. Saat itu, meskipun ada salah ucap atau makanan yang kurang sesuai dengan selera akan menjadi tidak terasa. Kalah oleh nikmatnya cinta. Namun seiring berjalannya waktu dan bergantinya hari, semua akan menjadi biasa dan kembali seperti sedia kala. Suami istri juga akan mulai mengetahui karakter masing-masing lebih detail. Di sini kadang kita terkejut, “Ternyata istriku suka ngambek. Sedikit-sedikit ngambek, diam tidak mau bicara. Padahal hanya telat pulang kerja 30 menit karena macet.” Di sini kadang istri kaget, “Ternyata suamiku mudah marah. Sarapan telat marah. Baju kurang rapi marah.”

Jika kita menganggap itu masalah besar karena sebelumnya hanya membayangkan yang indah-indah saja, kita mudah patah dan menyerah. Namun jika kita telah siap, kita akan lebih antisipatif. Pasti ada solusinya. Kalau istri ngambek, suami yang memulai berbicara, mencandai, merayunya dan… seterusnya. Kalau suami kelihatan mau marah, istri yang minta maaf duluan, dipanggil sayang, dan… selanjutnya terserah Anda.

Kedua, sering kali pasangan muda pada tahun-tahun pertama akan diuji dengan keterbatasan ekonomi. Apalagi yang dari awal hanya berbekal motivasi “menikahlah maka engkau akan kaya”. Ikut mertua sungkan. Rumah sendiri belum punya. Akhirnya tinggal di rumah kontrakan. Apalagi sebelumnya adalah mahasiswa murni yang tiao bulan selalu mendapat “bea siswa” dari orang tua. Begitu menikah “bea siswa” berhenti dan pekerjaan belum mapan. Jika hanya membayangkan pernikahan dari indahnya hidup penuh cinta tanpa persiapan menghadapi kondisi seperti ini bisa berbahaya. Namun jika telah memprediksi sebelumnya bahwa kemungkinan ini bisa saja terjadi, mereka berdua tetap yakin pada Allah yang Maha Pemberi Rezeki dan memecahkan masalah berdua penuh cinta. Bukan istri menyalahkan suami karena penghasilannya yang masih “pemula” atau suami yang memaksa istri minta “bea siswa” lagi kepada orang tua.

Ketiga, kehidupan berumah tangga menjadikan kita dihitung sebagai warga masyarakat yang sebenarnya. Jika sebelumnya kita adalah pertapa di menara gading yang tidak pernah diperhatikan masyarakat, begitu berumah tangga kita mau tidak mau akan terlibat dalam banyak aktifitas dan hak-hak bertetangga. Konsekuensinya jelas, ada kontribusi waktu bahkan maliyah kita. Kalau sebelumnya hanya membayangkan nikmatnya menikah bisa terus berduaan, lebih banyak waktu untuk tilawah dan mendiskusikan materi tarbiyah, kita akan kewalahan.

Keempat, semakin lama kita berumah tangga yang dibangun di atas pondasi imajinasi sempurna, potensi futur dalam berumah tangga semakin besar. Tidak mungkin rumah tangga selama bertahun-tahun bebas masalah atau konflik, sekecil apapun. Imbangilah bayangan keindahan dengan kesadaran adanya kemungkinan ini supaya lebih siap dan sigap mengatasinya. Diperlukan upaya mengatasi futur dalam berumah tangga ini.

Kelima, saat Allah mengamanahkan hamba kecilnya kepada kita. Mulai istri mengandung yang seleranya berubah bahkan terkadang aneh, termasuk sikapnya, sampai waktu, tenaga, perhatian dan finansial lebih besar untuk menyambut kelahirannya dan mulai membesarkannya.

Jika kita punya bayangan akan kemungkinan-kemungkinan ini, kita lebih siap dan lebih antisipatif menghadapinya. Sehingga semuanya berlalu hanya bagaikan riak-riak kecil yang menambah asyik laju bahtera kita, tidak sampai menjadi ombak besar yang menenggelamkannya.

Seperti Umar bin Khatab saat ada orang yang mau mengadu kepadanya. Begitu mendapati Umar dimarahi istrinya dan diam saja, orang itu kembali. Tidak jadi mengadu. Saat Umar tahu dan dipanggilnya. Ia pun mengatakan bahwa niatnya curhat dan konsultasi masalah keluarga. Ternyata masalah kelurga Umar lebih besar, anggapannya. Umar lalu mengajarinya sebuah makna: itu adalah bumbu dalam berumah tangga.

Sekarang bagaimana kau membayangkan pernikahanmu dan hari-hari selanjutnya? []

diposting:http://muchlisin.blogspot.com/2010/05/apa-yang-kau-bayangkan-dengan.html

05 Juni 2011

Akumulasi Waktu Kebajikan

Alun-alun Tahrir di Kairo tiba-tiba jadi saksi sejarah dari ledakan kemarahan para pemuda Mesir. Jutaan jiwa muda itu tumpah ruah dengan satu target: Mubarak harus turun! Dan Mubarak pun akhirnya memang turun. Di lapangan yang sama -sepekan setelah kejatuhan Mubarak- para pemuda mendengar khutbah Jumat dari seorang ulama Mesir yang pernah diusir oleh rezim Mesir puluhan tahun lalu: Syekh Yusuf Al Qardhawi.

Itu dua wajah sejarah dari dua orang pelaku yang tumbuh dan hidup dalam waktu yang sama. Yang satu mengakumulasi tirani. Yang satu mengakumulasi dakwah. Tapi keduanya menggunakan waktu yang lama. Lama sekali dalam hitungan umur individu. Akumulasi tirani itulah yang meledakkan pemuda Mesir di lapangan Tahrir, Kairo. Akumulasi dakwah juga yang menghadirkan Qardhawi kembali ke lapangan itu setelah pengusiran yang lama.

Sejarah adalah akumulasi yang meledak. Akumulasi kebajikan akan meledak jadi peradaban. Akumulasi tirani akan meledak jadi revolusi. Tidak ada pelaku sejarah yang bisa meninggalkan jejak kalau hanya numpang lewat dalam hidup. Itu sebabnya perubahan-perubahan besar tidak akan pernah berlangsung dalam tempo yang singkat. Itu sebabnya sejarah menghapus banyak nama para pelaku karena mereka gagal mengakumulasi kebajikan mereka dalam rentang waktu yang lama.

Dalam makna akumulasi itulah Al-Qur’an memperkenalkan tiga besaran waktu yang berbeda. Satuan terkecilnya adalah waktu individu. Akumulasi dari waktu individu akan membentuk waktu sosial. Selanjutnya akumulasi waktu sosial akan membentuk waktu peradaban atau sejarah. Yang kita baca dari sejarah umumnya adalah akumulasi waktu individu yang berhasil membentuk waktu sosial dan peradaban dari sebuah komunitas.


Maka sejarahh sosial atau peradaban merupakan akumulasi dari sejarah individu-individunya. Tapi tak pernah ada sejarah individu yang bisa kita lepaskan dari konteks sosial dan peradabannya. Akumulasi kebajikan individu hanya akan meledak jika sejak awal ia terangkai dalam keseluruhan waktu sosial. Mubarak dan Qardhawi adalah dua individu yang bergulat dalam waktu sosial yang sama, dan akhirnya meledak pada waktu yang sama, yaitu waktu sosial masyarakat Mesir. Hasil bagi individu berbeda. Tapi keduanya melukis kanvas waktu masyarakat Mesir. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 247]

Akumulasi Waktu Kebajikan

Alun-alun Tahrir di Kairo tiba-tiba jadi saksi sejarah dari ledakan kemarahan para pemuda Mesir. Jutaan jiwa muda itu tumpah ruah dengan satu target: Mubarak harus turun! Dan Mubarak pun akhirnya memang turun. Di lapangan yang sama -sepekan setelah kejatuhan Mubarak- para pemuda mendengar khutbah Jumat dari seorang ulama Mesir yang pernah diusir oleh rezim Mesir puluhan tahun lalu: Syekh Yusuf Al Qardhawi.

Itu dua wajah sejarah dari dua orang pelaku yang tumbuh dan hidup dalam waktu yang sama. Yang satu mengakumulasi tirani. Yang satu mengakumulasi dakwah. Tapi keduanya menggunakan waktu yang lama. Lama sekali dalam hitungan umur individu. Akumulasi tirani itulah yang meledakkan pemuda Mesir di lapangan Tahrir, Kairo. Akumulasi dakwah juga yang menghadirkan Qardhawi kembali ke lapangan itu setelah pengusiran yang lama.

Sejarah adalah akumulasi yang meledak. Akumulasi kebajikan akan meledak jadi peradaban. Akumulasi tirani akan meledak jadi revolusi. Tidak ada pelaku sejarah yang bisa meninggalkan jejak kalau hanya numpang lewat dalam hidup. Itu sebabnya perubahan-perubahan besar tidak akan pernah berlangsung dalam tempo yang singkat. Itu sebabnya sejarah menghapus banyak nama para pelaku karena mereka gagal mengakumulasi kebajikan mereka dalam rentang waktu yang lama.

Dalam makna akumulasi itulah Al-Qur’an memperkenalkan tiga besaran waktu yang berbeda. Satuan terkecilnya adalah waktu individu. Akumulasi dari waktu individu akan membentuk waktu sosial. Selanjutnya akumulasi waktu sosial akan membentuk waktu peradaban atau sejarah. Yang kita baca dari sejarah umumnya adalah akumulasi waktu individu yang berhasil membentuk waktu sosial dan peradaban dari sebuah komunitas.

Maka sejarahh sosial atau peradaban merupakan akumulasi dari sejarah individu-individunya. Tapi tak pernah ada sejarah individu yang bisa kita lepaskan dari konteks sosial dan peradabannya. Akumulasi kebajikan individu hanya akan meledak jika sejak awal ia terangkai dalam keseluruhan waktu sosial. Mubarak dan Qardhawi adalah dua individu yang bergulat dalam waktu sosial yang sama, dan akhirnya meledak pada waktu yang sama, yaitu waktu sosial masyarakat Mesir. Hasil bagi individu berbeda. Tapi keduanya melukis kanvas waktu masyarakat Mesir. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 247]

(Anis Matta) Delapan Mata Air Kecemerlangan | DPC PKS PIYUNGAN

(Anis Matta) Delapan Mata Air Kecemerlangan | DPC PKS PIYUNGAN

02 Juni 2011

Mekanisme Operasional Ekonomi Syariah


Di dalam teori ekonomi Islam atau ekonomi syariah sebagai dasar sistem perbankan Islam, diatur beberapa konsep pembiayaan islami yang dapat dipraktekkan oleh perbankan Islam. Diantara konsep-konsep tersebut adalah konsep mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, wadiah dan lain-lain.


    1. Mudharabah yaitu perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha, dimana pihak pemilik modal menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan atas usaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan (http://ms.wikipedia.org/wiki/Mudharabah)
    2. Musyarakah adalah konsep yang diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan (http://ms.wikipedia.org/wiki/Musyarakah)
    3. Murabahah yaitu penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad di awal dan besarnya angsuran = harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah, 500 juta, margin bank / keuntungan bank 100 juta, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan nasabah (http://ms.wikipedia.org/wiki/Murabahah)
    4. Ijarah atau pure leasing adalah pemberian kesempatan kepada penyewa untuk mengambil kesempatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama (Antonio dan Perwataatmadja, 1999: 30). Sebagai contoh adalah pembiayaan mobil, pelanggan akan memasuki kontrak pertama dan memberikan harga sewa mobil tersebut pada kadar sewa yang telah dipersetujui untuk suatu tempo tertentu. Pada akhir tempo pembayaran, kontrak kedua akan dikuatkuasakan bagi pelanggan untuk membeli kendaraan tersebut pada harga yang telah dipersetujui (http://ms.wikipedia.org/wiki/Ijarah)
    5. Wadiah adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah (http://ms.wikipedia.org/wiki/Wadiah).

akhrusnadi: Khutbah : SAY NO TO "RIBA"

akhrusnadi: Khutbah : SAY NO TO "RIBA"

Khutbah : SAY NO TO "RIBA"

ุฅِู†َّ ุงู„ْุญَู…ْุฏَ ู„ِู„َّู‡ِ ู†َุญْู…َุฏُู‡ُ ูˆَู†َุณْุชَุนِูŠْู†ُู‡ُ ูˆَู†َุณْุชَุบْูِุฑُู‡ُ، ูˆَู†َุนُูˆุฐُ ุจِุงู„ู„ู‡ِ ู…ِู†ْ ุดُุฑُูˆْุฑِ ุฃَู†ْูُุณِู†َุง ูˆَู…ِู†ْ ุณَูŠِّุฆَุงุชِ ุฃَุนْู…َุงู„ِู†َุง، ู…َู†ْ ูŠَู‡ْุฏِ ุงู„ู„ู‡ُ ูَู„ุงَ ู…ُุถِู„َّ ู„َู‡ُ ูˆَู…َู†ْ ูŠُุถْู„ِู„ْ ูَู„ุงَ ู‡َุงุฏِูŠَ ู„َู‡ُ. ุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃَู†َّ ู„ุงَ ุฅِู„َู‡َ ุฅِู„ุงَّ ุงู„ู„ู‡ُ ูˆَุญْุฏَู‡ُ ู„ุงَ ุดَุฑِูŠْูƒَ ู„َู‡ُ ูˆَุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃَู†َّ ู…ُุญَู…َّุฏًุง ุนَุจْุฏُู‡ُ ูˆَุฑَุณُูˆْู„ُู‡ُ. ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ุตَู„ِّ ูˆَุณَู„ِّู…ْ ุนَู„َู‰ ู†َุจِูŠِّู†َุง ูˆَุฑَุณُูˆْู„ِู†َุง ู…ُุญَู…َّุฏٍ ุตَู„َّู‰ ุง ู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِู‡ِ ูˆَุฃَุตْุญَุงุจِู‡ِ ูˆَู…َู†ْ ุชَุจِุนَู‡ُู…ْ ุจِุฅِุญْุณَุงู†ٍ ุฅِู„َู‰ ูŠَูˆْู…ِ ุงู„ุฏِّูŠْู†ِ، ุฃَู…َّุง ุจَุนْุฏُ؛
ูَุฅِู†َّ ุฃَุตْุฏَู‚َ ุงู„ْุญَุฏِูŠْุซِ ูƒِุชَุงุจُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุฎَูŠْุฑَ ุงู„ْู‡َุฏูŠِ ู‡َุฏْูŠُ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ، ูˆَุดَุฑَّ ุงู„ุฃُู…ُูˆْุฑِ ู…ُุญَุฏَุซَุงุชُู‡َุง، ูˆَูƒُู„َّ ู…ُุญْุฏَุซَุฉٍ ุจِุฏْุนَุฉٌ ูˆَูƒُู„َّ ุจِุฏْุนَุฉٍ ุถَู„ุงَู„ุฉٍ.
ูَูŠَุง ุนِุจَุงุฏَ ุงู„ู„ู‡ِ، ุฃُูˆْุตِูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฅِูŠَّุงูŠَ ุจِุชَู‚ْูˆَู‰ ุงู„ู„ู‡ِ ูَู‚َุฏْ ูَุงุฒَ ุงู„ْู…ُุคْู…ِู†ُูˆْู†َ ุงู„ْู…ُุชَّู‚ُูˆْู†َ، ุญَูŠْุซُ ู‚َุงู„َ ุชَุจَุงุฑَูƒَ ูˆَุชَุนَุงู„َู‰ ูِูŠْ ูƒِุชَุงุจِู‡ِ ุงู„ْุนَุฒِูŠْุฒِ:
ูŠَุงุฃَูŠُّู‡ุงَ ุงู„َّุฐِูŠْู†َ ุกَุงู…َู†ُูˆุง ุงุชَّู‚ُูˆุง ุงู„ู„ู‡َ ุญَู‚َّ ุชُู‚َุงุชِู‡ِ ูˆَู„ุงَ ุชَู…ُูˆْุชُู†َّ ุฅِู„ุงَّ ูˆَุฃَู†ุชُู…ْ ู…ُّุณْู„ِู…ُูˆْู†َ.
ูŠَุงุฃَูŠُّู‡َุง ุงู„ู†َّุงุณُ ุงุชَّู‚ُูˆْุง ุฑَุจَّูƒُู…ُ ุงู„َّุฐِูŠْ ุฎَู„َู‚َูƒُู…ْ ู…ِّู†ْ ู†َูْุณٍ ูˆَุงุญِุฏَุฉٍ ูˆَุฎَู„َู‚َ ู…ِู†ْู‡َุง ุฒَูˆْุฌَู‡َุง ูˆَุจَุซَّ ู…ِู†ْู‡ُู…َุง ุฑِุฌَุงู„ุงً ูƒَุซِูŠْุฑًุง ูˆَู†ِุณَุขุกً ูˆَุงุชَّู‚ُูˆุง ุงู„ู„ู‡َ ุงู„َّุฐِูŠْ ุชَุณَุขุกَู„ُูˆْู†َ ุจِู‡ِ ูˆَุงْู„ุฃَุฑْุญَุงู…َ ุฅِู†َّ ุงู„ู„ู‡َ ูƒَุงู†َ ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ุฑَู‚ِูŠْุจًุง.
ูŠَุงุฃَูŠُّู‡َุง ุงู„َّุฐِูŠْู†َ ุกَุงู…َู†ُูˆุง ุงุชَّู‚ُูˆุง ุงู„ู„ู‡َ ูˆَู‚ُูˆْู„ُูˆْุง ู‚َูˆْู„ุงً ุณَุฏِูŠْุฏًุง. ูŠُุตْู„ِุญْ ู„َูƒُู…ْ ุฃَุนْู…َุงู„َูƒُู…ْ ูˆَูŠَุบْูِุฑْ ู„َูƒُู…ْ ุฐُู†ُูˆْุจَูƒُู…ْ ูˆَู…َู†ْ ูŠُุทِุนِ ุงู„ู„ู‡َ ูˆَุฑَุณُูˆْู„َู‡ُ ูَู‚َุฏْ ูَุงุฒَ ูَูˆْุฒًุง ุนَุธِูŠْู…ًุง.
ูˆَู‚َุงู„َ ุนَู„َูŠْู‡ِ ุงู„ุตَّู„ุงَุฉُ ูˆَุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ: ุงِุชَّู‚ِ ุงู„ู„ู‡َ ุญَูŠْุซُ ู…َุง ูƒُู†ْุชَ ูˆَุฃَุชْุจِุนِ ุงู„ุณَّูŠِّุฆَุฉَ ุงู„ْุญَุณَู†َุฉَ ุชَู…ْุญُู‡َุง ูˆَุฎَุงู„ِู‚ِ ุงู„ู†َّุงุณَ ุจَุฎُู„ُู‚ٍ ุญَุณَู†ٍ.

Kaum muslimin seiman dan seaqidah
Tepatnya ketika Allah Subhannahu wa Ta'ala memberikan mukjizat kepada hamba dan kekasihNya, Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam berupa Isra’ Mi’raj, pada saat itu pula Allah Ta'ala perlihatkan berbagai kejadian kepada beliau yang kelak akan memimpin jaga raya ini. Di antaranya Rasulullah n melihat adanya beberapa orang yang tengah disiksa di Neraka, perut mereka besar bagaikan rumah yang sebelumnya tidak pernah disaksikan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Kemudian Allah Ta’ala tempatkan orang-orang tersebut di sebuah jalan yang tengah dilalui kaumnya Fir’aun yang mereka adalah golongan paling berat menerima siksa dan adzab Allah di hari Kiamat. Para pengikut Fir’aun ini melintasi orang-orang yang sedang disiksa api dalam Neraka tadi. Melintas bagaikan kumpulan onta yang sangat kehausan, menginjak orang-orang tersebut yang tidak mampu bergerak dan pindah dari tempatnya disebabkan perutnya yang sangat besar seperti rumah. Akhirnya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bertanya kepada malaikat Jibril yang menyertainya, “Wahai Jibril, siapakah orang-orang yang diinjak-injak tadi?” Jibril menjawab, “Mereka itulah orang-orang yang makan harta riba.” (lihat Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 2/252).

Dalam syariat Islam, riba diartikan dengan bertambahnya harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli sehingga menjadikan hartanya itu bertambah dan berkembang dengan sistem riba. Maka setiap pinjaman yang diganti atau dibayar dengan nilai yang harganya lebih besar, atau dengan barang yang dipinjamkannya itu menjadikan keuntungan seseorang bertambah dan terus mengalir, maka perbuatan ini adalah riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam, dan telah menjadi ijma’ kaum muslimin atas keharamannya.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Allah menghilangkan berkah riba dan menyuburkan shadaqah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah: 270).

Barang-barang haram yang tiada terhitung banyaknya sampai menyusahkan dan memberatkan mereka ketika harus cepat-cepat berjalan pada hari Pembalasan. Setiap kali akan bangkit berdiri, mereka jatuh kembali, padahal mereka ingin berjalan bergegas-gegas bersama kumpulan manusia lainnya namun tiada sanggup melakukannya akibat maksiat dan perbuatan dosa yang mereka pikul.

Maha Besar Allah yang telah berfirman:
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).

Dalam menafsirkan ayat ini, sahabat Ibnu “Abbas Radhiallaahu anhu berkata:
“Orang yang memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila lagi tercekik”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/40).
Imam Qatadah juga berkata:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan gila sebagai tanda bagi mereka agar diketahui para penghuni padang mahsyar lainnya kalau orang itu adalah orang yang makan harta riba.” (Lihat Al-Kaba’ir, Imam Adz-Dzahabi, hal. 53).

Dalam Shahih Al-Bukhari dikisahkan, bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bermimpi didatangi dua orang laki-laki yang membawanya pergi sampai menjumpai sebuah sungai penuh darah yang di dalamnya ada seorang laki-laki dan di pinggir sungai tersebut ada seseorang yang di tangannya banyak bebatuan sambil menghadap ke pada orang yang berada di dalam sungai tadi. Apabila orang yang berada di dalam sungai hendak keluar, maka mulutnya diisi batu oleh orang tersebut sehingga menjadikan dia kembali ke tempatnya semula di dalam sungai. Akhirnya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bertanya kepada dua orang yang membawanya pergi, maka dikatakan kepada beliau: “Orang yang engkau saksikan di dalam sungai tadi adalah orang yang memakan harta riba.” (Fathul Bari, 3/321-322).

Kaum muslimin sidang Jum’at yang berbahagia… inilah siksa yang Allah berikan kepada orang-orang yang suka makan riba, bahkan dalam riwayat yang shahih, sahabat Jabir Radhiallaahu anhu mengatakan:

ู„َุนَู†َ ุฑَุณُูˆْู„ُ ุงู„ู„ู‡ِ ุขูƒِู„َ ุงู„ุฑِّุจَุง ูˆَู…ُูˆْูƒِู„َู‡ُ ูˆَูƒَุงุชِุจَู‡ُ ูˆَุดَุงู‡ِุฏَูŠْู‡ِ، ูˆَู‚َุงู„َ: ู‡ُู…ْ ุณَูˆَุงุกٌ.

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya dan kedua orang yang memberikan persaksian, dan beliau bersabda: “Mereka itu sama”. (HR. Muslim, no. 1598).

Semaraknya praktek riba selama ini tidak lepas dari propaganda musuh-musuh Islam yang menjadikan umat Islam lebih senang untuk menyimpan uangnya di bank-bank, lebih-lebih dengan semaraknya kasus-kasus pencurian dan perampokan serta berbagai adegan kekerasan yang semakin merajalela. Bahkan sistem simpan pinjam dengan bunga pun sudah dianggap biasa dan menjadi satu hal yang mustahil bila harus dilepaskan dari perbankan. Umat tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram. Riba dianggap sama dengan jual beli yang diperbolehkan menurut syari’at Islam. Kini kita saksikan, gara-gara bunga berapa banyak orang yang semula hidup bahagia pada akhirnya menderita tercekik dengan bunga yang ada. Musibah dan bencana telah meresahkan masyarakat, karena Allah yang menurunkan hukumNya atas manusia telah mengizinkan malapetaka atas suatu kaum jika kemaksiatan dan kedurhakaan telah merejalela di dalamnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Ya’la dan isnadnya jayyid, bahwasannya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

ู…َุง ุธَู‡َุฑَ ูِูŠْ ู‚َูˆْู…ٍ ุงู„ุฒِّู†َู‰ ูˆَุงู„ุฑِّุจَุง ุฅِู„ุงَّ ุฃَุญَู„ُّูˆْุง ุจِุฃَู†ْูُุณِู‡ِู…ْ ุนِู‚َุงุจَ ุงู„ู„ู‡ِ.

“Tidaklah perbuatan zina dan riba itu nampak pada suatu kaum, kecuali telah mereka halalkan sendiri siksa Allah atas diri mereka.” (Lihat Majma’Az-Zawaid, Imam Al-Haitsami, 4/131).

Dan dari bencana yang ditimbulkan karena memakan riba tidak saja hanya sampai di sini, bahkan telah menjadikan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya semakin dangkal yang tidak lain dikarenakan perutnya yang telah dipadati benda-benda haram. Sehingga nasi yang dimakannya menjadi haram, pakaian yang dikenakannya menjadi haram, motor yang dikendarainya pun haram, dan barang-barang perkakas di rumahnya pun menjadi haram, bahkan ASI yang diminum oleh si kecil pun menjadi haram. Kalau sudah seperti ini, bagaimana mungkin do’a yang dipanjatkan kepada Allah akan dikabulkan jika seluruh harta dan makanan yang ada dirumahnya ternyata bersumber dari hasil praktek riba.

Sebenarnya praktek riba pada awal mulanya adalah perilaku dan tabi’at orang-orang Yahudi dalam mencari nafkah dan mata pencaharian hidup mereka. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha untuk menularkan penyakit ini ke dalam tubuh umat Islam melalui bank-bank yang telah banyak tersebar. Mereka jadikan umat ini khawatir untuk menyimpan uang di rumahnya sendiri seiring disajikannya adegan-adegan kekerasan yang menakutkan masyarakat lewat jalur televisi dan media-media massa lainnya, sehingga umatpun bergegas mendepositokan uangnya di bank-bank milik mereka yang mengakibatkan keuntungan yang besar lagi berlipat ganda bagi mereka, menghimpun dana demi melancarkan rencana-rencana jahat zionis dan acara-acara kristiani lainnya. Mereka banyak membantai umat Islam, namun diam-diam tanpa disadari di antara kita telah ada yang membantu mereka membantai saudara-saudara kita semuslim dengan mendepositokan uang kita di bank-bank mereka.

Dalam firmanNya Allah Subhannahu wa Ta'ala menegaskan:
“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih”. (QS. An-Nisa’: 161).

Lalu pantaskah bila umat Islam mengikuti pola hidup suatu kaum yang Allah pernah mengutuknya menjadi kera dan babi, sedangkan Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab (Yahudi dan Nashrani), niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi kafir sesudah kamu beriman.” (QS. Ali Imran: 100).

Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita kepada jalanNya yang lurus, yang telah ditempuh oleh para pendahulu kita dari generasi salafush-shalih.

ุจَุงุฑَูƒَ ุงู„ู„ู‡ُ ู„ِูŠْ ูˆَู„َูƒُู…ْ ูِูŠ ุงู„ْู‚ُุฑْุขู†ِ ุงู„ْุนَุธِูŠْู…ِ، ูˆَู†َูَุนَู†ِูŠْ ูˆَุฅِูŠَّุงูƒُู…ْ ุจِู…َุง ูِูŠْู‡ِ ู…ِู†َ ุงْู„ุขูŠَุงุชِ ูˆَุงู„ุฐِّูƒْุฑِ ุงู„ْุญَูƒِูŠْู…ِ. ุฃَู‚ُูˆْู„ُ ู‚َูˆْู„ِูŠْ ู‡َุฐَุง ูˆَุฃَุณْุชَุบْูِุฑُ ุงู„ู„ู‡َ ุงู„ْุนَุธِูŠْู…َ ู„ِูŠْ ูˆَู„َูƒُู…ْ.


Khutbah Kedua

ุฅِู†َّ ุงู„ْุญَู…ْุฏَ ู„ِู„َّู‡ِ ู†َุญْู…َุฏُู‡ُ ูˆَู†َุณْุชَุนِูŠْู†ُู‡ُ ูˆَู†َุณْุชَุบْูِุฑُู‡ُ، ูˆَู†َุนُูˆุฐُ ุจِุงู„ู„ู‡ِ ู…ِู†ْ ุดُุฑُูˆْุฑِ ุฃَู†ْูُุณِู†َุง ูˆَู…ِู†ْ ุณَูŠِّุฆَุงุชِ ุฃَุนْู…َุงู„ِู†َุง، ู…َู†ْ ูŠَู‡ْุฏِู‡ِ ุงู„ู„ู‡ُ ูَู„ุงَ ู…ُุถِู„َّ ู„َู‡ُ ูˆَู…َู†ْ ูŠُุถْู„ِู„ْ ูَู„ุงَ ู‡َุงุฏِูŠَ ู„َู‡ُ. ุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃَู†َّ ู„ุงَ ุฅِู„َู‡َ ุฅِู„ุงَّ ุงู„ู„ู‡ُ ูˆَุญْุฏَู‡ُ ู„ุงَ ุดَุฑِูŠْูƒَ ู„َู‡ُ ูˆَุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃَู†َّ ู…ُุญَู…َّุฏًุง ุนَุจْุฏُู‡ُ ูˆَุฑَุณُูˆْู„ُู‡ُ. ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ุตَู„ِّ ูˆَุณَู„ِّู…ْ ุนَู„َู‰ ู†َุจِูŠِّู†َุง ูˆَุฑَุณُูˆْู„ِู†َุง ู…ُุญَู…َّุฏٍ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡َ ูˆَุณَู„َّู…َ ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِู‡ِ ูˆَุฃَุตْุญَุงุจِู‡ِ ูˆَู…َู†ْ ุชَุจِุนَู‡ُู…ْ ุจِุฅِุญْุณَุงู†ٍ ุฅِู„َู‰ ูŠَูˆْู…ِ ุงู„ุฏِّูŠْู†ِ، ุฃَู…َّุง ุจَุนْุฏُ؛
ูَุฅِู†َّ ุฃَุตْุฏَู‚َ ุงู„ْุญَุฏِูŠْุซِ ูƒِุชَุงุจُ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุฎَูŠْุฑَ ุงู„ْู‡َุฏูŠِ ู‡َุฏْูŠُ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ุตَู„َّ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ، ูˆَุดَุฑَّ ุงู„ุฃُู…ُูˆْุฑِ ู…ُุญَุฏَุซَุงุชُู‡َุง، ูˆَูƒُู„َّ ู…ُุญْุฏَุซَุฉٍ ุจِุฏْุนَุฉٌ ูˆَูƒُู„َّ ุจِุฏْุนَุฉٍ ุถَู„ุงَู„ุฉٌ.

Dalam khutbah kedua ini, setelah kita menyadari realitas yang ada, marilah kita sering-sering beristighfar kepada Allah, karena tidak ada obat penyembuh dari kesalahan dan kedurhakaan yang telah kita lakukan kecuali hanya dengan mengakui segala dosa kita lalu beristighfar memohon ampun kepada Allah dan untuk tidak mengulanginya kembali sambil beramal shalih menjalankan ketaatan unukNya, sebagaimana yang dikatakan Nabi Hud Alaihissalam kepada kaumnya:
“Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS. Hud: 52).
Pada penutup khutbah ini, marilah kita memunajatkan do’a kepada Allah sebagai bukti bahwasanya kita ini fakir di hadapan Allah Subhannahu wa Ta'ala .

ุงَู„ْุญَู…ْุฏُ ู„ِู„َّู‡ِ ุฑَุจِّ ุงู„ْุนَุงู„َู…ِูŠْู†َ ูˆَุงู„ุตَّู„ุงَุฉُ ูˆَุงู„ุณَّู„ุงَู…ُ ุนَู„َู‰ ุฑَุณُูˆْู„ِ ุงู„ู„ู‡ِ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِู‡ِ ูˆَุฃَุตْุญَุงุจِู‡ِ ุฃَุฌْู…َุนِูŠْู†َ. ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ุงุบْูِุฑْ ู„َู†َุง ูˆَู„ِู„ْู…ُุคْู…ِู†ِูŠْู†َ ูˆَุงู„ْู…ُุคْู…ِู†َุงุชِ ูˆَุงู„ْู…ُุณْู„ِู…ِูŠْู†َ ูˆَุงู„ْู…ُุณْู„ِู…َุงุชِ ุงْู„ุฃَุญْูŠَุงุกِ ู…ِู†ْู‡ُู…ْ ูˆَุงْู„ุฃَู…ْูˆَุงุชِ، ูŠَุง ู…ُุฌِูŠْุจَ ุงู„ุฏَّุนَูˆَุงุชِ.
ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ู„ุงَ ุชَุฏَุนْ ู„َู†َุง ุฐَู†ْุจًุง ุฅِู„ุงَّ ุบَูَุฑْุชَู‡ُ ูˆَู„ุงَ ู‡َู…ًّุง ุฅِู„ุงَّ ูَุฑَّุฌْุชَู‡ُ ูˆَู„ุงَ ุฏَูŠْู†ًุง ุฅِู„ุงَّ ู‚َุถَูŠْุชَู‡ُ ูˆَู„ุงَ ุญَุงุฌَุฉً ู…ِู†ْ ุญَูˆَุงุฆِุฌِ ุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง ูˆَุงْู„ุขุฎِุฑَุฉِ ุฅِู„ุงَّ ู‚َุถَูŠْุชَู‡َุง ูŠَุง ุฃَุฑْุญَู…َ ุงู„ุฑَّุงุญِู…ِูŠْู†َ.
ุฑَุจَّู†َุง ุงุบْูِุฑْ ู„َู†َุง ูˆَู„ุฅِุฎْูˆَุงู†ِู†َุง ุงู„َّุฐِูŠْู†َ ุณَุจَู‚ُูˆْู†َุง ุจِุงْู„ุฅِูŠْู…َุงู†ِ ูˆَู„ุงَ ุชَุฌْุนَู„ْ ูِูŠْ ู‚ُู„ُูˆْุจِู†َุง ุบِู„ุงًّ ู„ِّู„َّุฐِูŠْู†َ ุกَุงู…َู†ُูˆْุง ุฑَุจَّู†َุง ุฅِู†َّูƒَ ุฑَุกُูˆْูٌ ุฑَّุญِูŠْู…ٌ. ุฑَุจَّู†َุง ุขุชِู†َุง ูِูŠ ุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง ุญَุณَู†َุฉً ูˆَูِูŠ ุงู„ุขุฎِุฑَุฉِ ุญَุณَู†َุฉً ูˆَู‚ِู†َุง ุนَุฐَุงุจَ ุงู„ู†َّุงุฑِ.
ูˆَุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َู‰ ู†َุจِูŠِّู†َุง ู…ُุญَู…َّุฏٍ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ، ุณُุจْุญَุงู†َ ุฑَุจِّูƒَ ุฑَุจِّ ุงู„ْุนِุฒَّุฉِ ุนَู…َّุง ูŠَุตِูُูˆْู†َ، ูˆَุณَู„ุงَู…ٌ ุนَู„َู‰ ุงู„ْู…ُุฑْุณَู„ِูŠْู†َ ูˆَุงู„ْุญَู…ْุฏُ ู„ู„ู‡ِ ุฑَุจِّ ุงู„ุนَุงู„َู…ِูŠْู†َ.