...Menjadi Serpihan Dengan Beribu Keutamaan...

30 Januari 2012

Tangisan Ukhuwah

Tangisan Ukhuwah
Seperih rasa sakit.. Sungguh, jauh berbeda dari hari sebelumnya. Rasanya, air mata tak ingin berdiam diri, melepas diri, menangis. Dan aku tahu, saat itu, ada perih yang terasa menyayat hati. Dan aku paham, ukhuwah itu tidaklah sunyi dari uji.
“karena saat ikatan melemah, saat keakraban merapuh
Saat salam terasa menyakitkan, saat kebersamaan serasa siksaan
Saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai
Aku tahu, yang rombeng bukan ukhuwah kita
Hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau mengerdil
Mungkin dua-duanya, mungkin kau saja
Tentu lebih sering, imankulah yang compang-camping ,,, “
(Salim A Fillah )
Yah, benar..
Imanku sedang sakit, amalanku menurun dari semangat
Yah benar..
Akulah yang sebenarnya tersalah, akulah  yang pantasnya terdakwa.
Begitulah ukhuwah, atmosfer yang terkadang berganti. Menyengat, menyayat hati hingga sesekali menghalau air mata yang menandakan kesedihan.
Mungkin, aku yang tak paham bahwa sahabatku juga tak  lepas dari ujiNya. Hingga terkadang sedih menyergapnya, masih saja ku tambah dengan ketidakpahamanku. Dan sungguh, aku juga tak lepas dari ujiNya. Hingga terkadang sedih sedang berhadir bertemu dengan ketidaktahuanmu. Dan akhirnya, harus kita tahu, ukhuwah itu sedang di uji. Saat ketidakpahamanku  dan ketidaktahuanmu menyatu tanpa melebur. Kita mungkin tahu, tapi tidak mau tahu.
Apakah cinta dalam ukhuwah itu ada hanya ketika hati  tentram?
Apakah cinta dalam ukhuwah itu hadir hanya saat hati bahagia?
Lalu, kemana ia saat hati gerah memanas?
Lalu, kemana ia saat hati tangis memerih?
Mungkin, ia lagi bersembunyi, menghilang.
Mungkin akan kembali, mungkin tidak.
Begitulah ukhuwah, ia tak sepi dari uji.
Begitulah sakitnya rasa cinta dalam ukhuwah, kala ia tak lagi sama dengan sebelumnya, hati terasa memerih, memerah tangis. Kala kata-kata mulai tidak seperti biasanya, segeralah hati merundung sedih. Kalau lah tidak ada rasa cinta, sungguh itu takkan terjadi, namun apakah harus bahagia atau bersedih?
“Abu Bakr bersimpuh lalu menggenggam tangan sang Nabi. Ditatapnya mata suci itu dalam-dalam. ‘antara aku dan putra Al-Khattab,’ lirihnya, ‘ada kesalahpahaman. Lalu dia marah dan menutup pintu rumah. Aku merasa menyesal. Maka ku ketuk pintunya, kuucapkan salam berulangkali untuk memohon maafnya. Tapi, dia tidak membukanya, tak menjawabku, dan tak juga memaafkanku.’
Tepat ketika Abu Bakr berkisah, ‘Umar ibn Khattab datang dengan resah. ‘sungguh aku di utus pada kalian,‘ sang nabi bersabda menghardik, lalu kalian berkata, ‘engkau dusta!’
Wajah beliau tampak memerah, campuran antara murka dan rasa malunya yang lebih dalam dibanding gadis dalam pingitan.
‘hanya Abu bakr seorang,‘ sambung beliau, ‘yang langsung mengiyakan,‘ engkau benar ! ’lalu dia membelaku dengan seluruh jiwa dan hartanya. Masihkah kalian tidak takut pada Allah untuk menyakiti sahabatku?’
‘Umar berlinang, beristighfar dan berjalan bersimpuh mendekat. Tetapi tangis Abu Bakr lebih keras, derai air matanya bagai kaca jendela lepas. ‘tidak ya Rasulullah. Tidak. Ini bukan salahnya,‘ serunya terpatah-patah isak. ‘Demi Allah akulah yang memang yang keterlaluan.‘ lalu dia pun memeluk ‘Umar, menenangkan bahu yang terguncang. Mereka menyatukan rasa dalam dekapan ukhuwah, menyembuhkan luka.“
Dan lihatlah, insan-insan terbaik ini pun tak lepas dari uji dalam ukhuwah mereka. Dan begitu pun kita, dan disini aku berada di posisi ‘Umar yang (mungkin) menyakiti hambaNya, dan disini aku berada di posisi Abu  Bakr yang (mungkin) memang keterlaluan.
“Masihkah aku tidak takut menyakiti hamba Allah yang dicintaiNya, yang berkorban di jalanNya?“
Sungguh, sebenarnya aku takut. Semoga aku berada diantara kemaafan sahabat-sahabatku atas ukhuwah yang belum kutunaikan haknya. Dan ketahuilah, kita hidup dalam kemaafanNya.
“ Ya Rabb..
Izinkan aku mencintai sahabat-sahabatku baik di kala ia ridho atasku dan baik di kala ia enggan atasku..
Izinkan aku mengasihi sahabat-sahabatku baik di kala ia bahagia denganku dan baik di kala ia benci denganku..
Izinkan kami mencintai karenaMu, hingga ujian dalam ukhuwah ini bisa kami lewati dengan kefahaman kami dan keridhoanMu. “

Oleh: LMS, fimadani.com

Bijaksanalah

Dahulu kala, ada seorang petani miskin memiliki seekor kuda putih yang sangat cantik dan gagah. Suatu hari, seorang saudagar kaya ingin membeli kuda itu dan menawarkan harga yang sangat tinggi. Sayang si petani miskin itu tidak menjualnya. Teman-temannya menyayangkan dan mengejek dia karena tidak menjual kudanya itu.

Keesokan harinya, kuda itu hilang dari kandangnya. Maka teman-temannya berkata, "Waduh! Sungguh jelek nasibmu, padahal kalau kemarin kamu jual, kamu sudah jadi orang kaya lho. Sekarang kudamu sudah hilang." Si petani miskin hanya diam saja.

Beberapa hari kemudian, kuda si petani kembali bersama 5 ekor kuda lainnya. Lalu teman-temannya berkata, "Wah beruntung sekali nasibmu! Ternyata kudamu membawa keberuntungan ya.." Si petani hanya diam saja.

Beberapa hari kemudian, anak si petani yang sedang melatih kuda-kuda baru mereka terjatuh dan kakinya patah. Teman-temannya berkata, "Ah, rupanya kuda-kuda itu membawa sial. Lihat tuh, sekarang kaki anakmu patah!" Si petani tetap diam tanpa komentar.

Seminggu kemudian, terjadi peperangan di wilayah itu. Semua anak muda di desa dipaksa untuk berperang, kecuali si anak petani karena dia belum bisa berjalan. Teman-temannya mendatangi si petani sambil menangis, "Beruntung sekali nasibmu karena anakmu tidak ikut berperang. Anak-anak kami harus ikut perang."

Si petani kemudian berkomentar, "Sebaiknya kita tidak terlalu cepat membuat kesimpulan dengan mengatakan nasib baik atau jelek. Semuanya adalah suatu rangkaian proses. Syukuri dan terima keadaan yang terjadi saat ini. Apa yang kelihatan baik hari ini, belum tentu baik untuk hari esok. Apa yang buruk hari ini, belum tentu buruk untuk hari esok. Jadilah bijaksana hari ini!"
Sumber: m.andriwongso.com